Serangan
Umum 1 Maret 1949 yang dilaksanakan secara besar-besaran di Yogyakarta
sudah saatnya disejajarkan dengan pertempuran 10 November 1945. Oleh
sebab itu peringatan acara yang akan dilaksanakan tiga hari hari lagi
akan digelar berbeda dengan tahun sebelumnya.
Serangan yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan kepada Belanda
saat itu dilakukan guna memperkokoh diplomasi dan simbol ekstistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di mata internasional.
Tentara Nasional Indoensia dibawah komando Panglima Besar Sudirman ingin
membuktikan bahwa TNI masih ada dan cukup kuat untuk mempertahankan
kedaulaatan NKRI khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Simbol perjuangan ada di Yogyakarta dengan dibangunnya Monumen Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 di kawasan Titik Nol Yogyakarta. Hanya saja, pada
lima tahun terakhir peringatan serangan itu hanya dilakukan oleh para
pelaku perjuangan tanpa melibatkan warga Yogyakarta.
Penasehat Panitia Peringatan 63 Tahun Serangan Umum 1 Maret 1949, Herry
Zudianto mengatakan, sudah saatnya dilakukan transfer sejarah kepada
generasi muda khususnya di DIY. Sebab, serangan itu adalah bagian dari
sejarah kemerdekaan Indonesia.
“Sejarah serangan umum bahkan tidak ada di dalam buku pelajaran sehingga
generasi kita tidak tahu pentingnya Yogya kaitanya dengan sejarah
kemerdekaan Indonesia,”kata Herry, Senin (27/2/2012).
Menurut dia, serangan umum satu Maret 1949 sama pentingnya dengan
perjuangan 10 November 1945 di Surabaya. Sebaiknya, warga DIY mulai
“menggugat” arti pentingnya serangan untuk memperkokoh nilai
keistimewaan Yogyakarta.
Posisi strategis Yogyakarta sebagai sasaran utama serangan sebab saat
itu sebab Yogya adalah Ibu Kota RI saat itu. Pejuang berharap jika
serangan besar-besar terhadap Belanda akan berpengaruh terhadap semangat
pejuang untuk mempertahankan NKRI.
Ketua Badan Pengurus Cabang Paguyuban Wehrkries (Daerah Perlawanan) III
Yogyakarta, Kota Yogya, Sudjono menambahkan, serangan umum satu Maret
1949 layak disejajarkan dengan perjuangan kemerdekaan di tempat lain.
Ia mengungkapkan, beberapa tokoh dari Yogyakarta seperti, Hamengkubuwo
IX, Jenderal Sudirman juga menjadi bagian dari sejarah berdirinya
Indonesia. Untuk itu, generasi muda saat ini patut mendapatkan transfer
informasi sejarah yang sesungguhnya.
Selama ini, kata dia, peringatan upacara serangan umum 1 Maret 1949
hanya dilakukan secara sederhana hingga tidak ada gereget dari
masyarakat Yogyakarta untuk merasa bangga terhadap para pejuang di
Yogyakarta.
Sejak abad ke-09, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai
tempat peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan, karena wilayah
adalah daerah pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga
didukung oleh keindahan pemandangan alam sebagai ciri khas daerah
pegunungan.
Pada waktu pemerintahan Raja Sindok , seorang petinggi Kerajaan
bernama Mpu Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat
peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat
mata air. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu
kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti
mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat
peristirahatan keluarga kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang
diberi nama Candi Supo.
Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang
mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan.
Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang
bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sendok. Oleh karena sumber
mata air yang sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang
bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (Magic) yang maha dasyat,
akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk akhirnya
berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair panas itupun sampai saat
ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung
Panderman dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan
laut, berdasarkan kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun
yang dilacak keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya
tentang kapan nama “B A T U” mulai disebut untuk menamai kawasan
peristirahatan tersebut.
Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan
bahwa sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran
Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug
Angin yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan
panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering
memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang
dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta
lebih cepat bila memanggil seseorang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah
Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebagai sebutan yang
digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.
Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim
sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat
yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan
wilayah Batu, sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari
JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia,
dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah
dikaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan
dari serdadu Belanda (Kompeni)
Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama
dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa,
pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut
Pangeran Diponegoro. Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan
masyarakat yang lain berdatangan dan menetap untuk berguru, menuntut
ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu.
Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji,
Sisir dan Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan
banyak serta menjadi suatu masyarakat yang ramai.
Sebagai layaknya Wilayah Pegunungan yang wilayahnya subur, Batu dan
sekitarnya juga memiliki Panorama Alam yang indah dan berudara sejuk,
tentunya hal ini akan menarik minat masyarakat lain untuk mengunjungi
dan menikmati Batu sebagai kawasan pegunungan yang mempunyai daya tarik
tersendiri. Untuk itulah di awal abad 19 Batu berkembang menjadi daerah
tujuan wisata, khususnya orang-orang Belanda, sehingga orang-orang
Belanda itupun membangun tempat-tempat Peristirahatan (Villa) bahkan
bermukim di Batu.
Situs dan bangunan-bangunan peninggalan Belanda atau semasa
Pemerintahan Hindia Belanda itupun masih berbekas bahkan menjadi aset
dan kunjungan Wisata hingga saat ini. Begitu kagumnya Bangsa Belanda
atas keindahan dan keelokan Batu, sehingga bangsa Belanda mensejajarkan
wilayah Batu dengan sebuah negara di Eropa yaitu Switzerland dan
memberikan predikat sebagai De Klein Switzerland atau Swiss kecil di
Pulau Jawa.
Alun - alun depan PLAZA batu tempo doeloe
Geredja djago tempo doeloe
Peninggalan
arsitektur dengan nuansa dan corak Eropa pada penjajahan Belanda dalam
bentuk sebuah bangunan yang ada saat ini serta panorama alam yang indah
di kawasan Batu sempat membuat Bapak Proklamator sebagai The Father
Foundation of Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta setelah Perang
Kemerdekaan untuk mengunjungi dan beristirahat dikawasan Selecta Batu.
Sumber : Dinas Infokompust Batu Bidang Informasi dan sumber lainnya
Di perempatan Aloen-aloen kota malang {Sebelah barat} Aloen-aloen terdapat bangoenan geredja protestan {Geredja GPIB Immanoeel} Djang terletak sebelah oetara {Masdjid agoeng djami} Geredja ini di bangoen pada tahoen 1861''s Karena bentoekndja sangat sederhana, Oleh bangsa belanda di bongkar-
Dan di bangoen kembali dengan gadja geredja Gothic pada tahoen 1912''s. Pada waktoe itoe halaman geredja masih hijaoeh nan loewas seiring perkembangan kota, Maka halaman depan geredja mendjadi semakin sempit. Sedangkan bentoek loear nan dalam geredja masih persis sama dengan saat awal pembangoenan geredja itoe.
Foto ini di ambil pada tahoen 1914''s setelah pembangoean geredja ini selesai